Sabtu, Desember 19, 2009

Yang Terhormat Tuan Pencuri

Cerpen : Saiful Bahri
Yang Terhormat Tuan Pencuri


Sungguh, Pencuri itu telah kami pertuankan! Setulusnya, Pencuri itu telah kami pertuankan!

Kala masa kalut menerpa selingkar batas tanah kampung kami, sesungguhnya kami sangat sadar bahwa Pencuri-Pencuri itu adalah sebenar-benarnya pencuri. Kala masa kalut itu kami diperangkapkan untuk selalu mengingkarkan kepercayaan dan keyakinan kami akan jati diri si Pencuri bahwa ia itu memang utuh seorang pencuri. Kala masa kalut itu kami dipaksa untuk tak secuil pun punya anggapan yang berani-beraninya menganggap-anggap Pencuri itu adalah pencuri. Maka, pada masa kalut itu juga tak sezarrah pun kami bernyali untuk menuding-tuding Pencuri adalah pencuri! Demi keselamatan, pada masa kalut itu kami ingkarkan saja hati nurani kami untuk mengikrarkan bahwa Pencuri bukan pencuri!

Sore hari ini, di atas podium kehormatan di tengah alun-alun kampung, Pencuri itu mengumbar seuntai senyum cerah-ceria. Setengah orasi yang telah disampaikannya pada rapat akbar itu telah melumerkan hati-hati kami yang membatu, yang pernah mengguriskan bahwa Pencuri itu pencuri, kini berubah seketika untuk mencap beliau itu Pencuri yang bukan pencuri. Kami bertepuk, bersorak-sorai, bersungguh-sungguh mencecap dan menelan kata-kata bertuah yang menggulir begitu cepat dari mulut besar beliau Pencuri yang menurut kami bukan lagi pencuri. Seketika itu juga kami yakin dan berketetapan hati untuk mempercayakan keselamatan dan masa depan kampung kami kepada beliau Pencuri yang bukan pencuri.

"Wahai kalian semua penghuni kampung, saya tahu bahwa dalam hati kecil kalian semua pernah terbersit bahwa asal-usul saya ini adalah dari seorang pencuri dari keluarga para pencuri. Ayah dan ibu saya adalah pencuri. Kakek-nenek dan buyut-buyut saya seketurunan adalah pencuri. Sungguh sangat legam dan kejam nasib yang telah mempernasibkan saya untuk bernasib pencuri. Tetapi, yakinlah, mulai saat ini saya akan mengikis habis pencitraan yang mencitrakan saya ini Pencuri menjadi saya yang bukan lagi pencuri. Percayalah! Percayalah, perubahan akan segera terjadi!"teriak beliau Pencuri yang konon bukan lagi pencuri.

"Horeee!!!! Horeee!!!"pekik kami, tetua-tetua seisi kampung sambil terkekeh-kekeh.

"Hidup Pencuri! Hidup Pencuri!"jerit bocah-bocah kami kegirangan sambil menari-nari dan berlari-lari kecil seputar alun-alun.

Kami membayang-bayangkan sekeping nikmat syurga segera terhampar di ambang pintu kampung pelengkap kesejahteraan masa depan kami satu generasi ke lain generasi. Sungguh sukar kami nalar untuk bisa kami percaya-percayai kalau dulunya kami benci Pencuri, kini berbalik cinta sepenuh hati pada Pencuri. Begitu mudah hati kami terbalik-balik ketika berhadapan dengan janji-janji yang sungguh sangat menjanjikan. Begitu mudah kami lupa, melupakan semua buruk diri dan busuk hati si Pencuri, ketika berhadapan dengan kenyataan yang belum nyata dan entah kapan bisa nyata senyatanya!

Selesai sudah hiruk-pikuk sore itu yang berujungkan eforia sepihak bagi beliau sang Pencuri. Kami penduduk kampung, tua-muda, pria-wanita bergembira ria pulang ke rumah sambil mendendangkan lagu : "Gelang sipatu gelang, gelang sirama-rama, mari pulang, marilah pulang, marilah pulang bersama-sama."Segala gundah sepertinya terobati sudah. Kami melangkah sepertinya tak lagi salah.

Malam hitam menangkup kami dalam mimpi-mimpi indah, seindah janji-janji beliau Pencuri sore tadi. Mimpi itu menyeret kami pada ambang sadar tak sadar untuk mentasbihkan rasa hormat kami bagi kehormatan Pencuri, yang sekali lagi menurut beliau bukan lagi pencuri. Jalinan mimpi itu begitu kusut menjuntai-juntai batas harap kami, yang mengharapkan segala harap yang telah kami pikulkan ke pundak si Pencuri. Sungguh tak sabar kami mengulur-ulur mimpi manis yang menyiksa ini.

Ketika pagi terkuak, huru-hara telah terjadi. Kampung geger. Penghuni kampung kasak-kusuk dan berlarian tak tentu arah. Kami semua telah kecurian. Kampung kini kosong melompong. Semua telah dicuri. Lumbung-lumbung padi kami, tanah-tanah hibah kami, gedung sekolah, seluruh rumah, jalan pergi, jalan pulang, arsip sejarah kampung, masa lalu kampung dan rencana masa depan kampung, semua telah dicuri. Gilanya lagi, cita-cita, mimpi-mimpi, siang dan malam kami juga ikut dicuri. Dan yang paling celaka, anak-anak gadis kami, pemuda-pemuda kampung kami, suami-suami kami, istri-istri tercinta kami juga turut dicuri! Tak ada yang tersisa! Kampung kami yang kosong terengah-engah melindas sunyi!

Di beranda rumah mewah di kampung lain, si Pencuri yang bukan lagi pencuri, yang pernah kami pertuan-tuankan, sedang sibuk menghitung-hitung harta curian.

Sabang, 12 Desember 2009

Sumber : http://serambinews.com/news/view/19686/yang-terhormat-tuan-pencuri

Minggu, November 08, 2009

Alina

ALINA
Cerpen : Saiful Bahri



Adalah Puisi “Perjalanan Kubur” Sutardji Calzoum Bachri berawal kisah ini :

…………………………….
Untuk kuburmu Alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu Alina
…………………………….
Alina! Alina! Alina! Siapakah Alina? Yang menggurat gairah, mengunyah sejarah, getarkan tampuk semesta; adakah Alina? Alina di kesementaraan angan menuju keabadian kenangan — yang entah di mana akhirnya dan entah bagaimana jasad nisbinya. Alina yang punya sejuta cinta dan sekeranjang dosa umat manusia tengah meronta-ronta di liang kuburnya yang tua. Alina yang rahasia, yang berwujud kita, berwujud budaya, berwujud apa saja; tengah menjalani siksa. Siksa Alina!

“Jangan! Jangan ingkari Alina. Jangan sakiti Alina. Jangan dipolitisir Alina. Jangan agung-agungkan Alina. Jangan adakan dan tiadakan Alina. Jangan apa-apakan Alina. Jangan apa-apakan Alina! Biarkan Alina tetap Alina!” lengking saya dalam keadaan luruh yang meluruhkan kesenduan pagi berkabut di sebuah perkampungan kumuh, di pinggiran kota saya yang tertuduh.

Ya, kota saya merasa tertuduh telah merampas, membantai dan memperkosa Alina. Kota saya merasa tersingkir, dileceh-lecehkan, diludahi dan ditelanjangi. Kota saya gelagapan dan gemetar dalam amarah diamnya yang mendidih. Kota saya melambai-lambai, menggapai-gapai dan tidak mau tenggelam. Kota saya patah. Kota saya gerah. Wajahnya berlumur darah. Darah-darah yang melimpah. Darah-darah yang beriak-riak, berombak-ombak, bergulung-gulung melintasi samudera hati diri-hati diri, hingga akhirnya terhempas di pantai liang kubur Alina. Oh, kota saya yang berantakan!

Dan, ketika liang kubur Alina mulai mereguk genangan darah demi genangan darah yang memang bermuara ke sana, kesenduan pagi segera menyusut untuk segera terbang ke alam panas. Pagi tiba-tiba membara. Pagi-pagi dalam prahara. Pagi-pagi dalam huru-hara. Pagi-pagi jadi sangat berbahaya. Di persimpangan-persimpangan, di pusat-pusat perbelanjaan, di salon-salon kecantikan, di emperan-emperan kaki lima, di lorong-lorong sempit, di depan kantor-kantor pemerintah dan swasta, di halaman-halaman sekolah, di pinggir kali, di pasar ikan, di pasar sayur, di pasar-pasar lelang umur manusia, orang-orang ternganga sambil menatap pilu ke ufuk liang kubur Alina. Mereka bertanya-tanya apa tanda ini semua? Apa makna ini semua?
Dengan hati berdebar-debar mereka segera membentuk barisan.

Tanpa aba-aba mereka segera bergerak. Derap langkah menggemuruh, membungkamkan diam mereka yang resah. Pagi terasa semakin panas! Parade mereka — penduduk kota saya — semakin mantap berderap, semakin cepat bergerak. Peluh mulai bercucuran. Amarah mulai terpancar dari muka mereka. Ada yang merasa tersayat pedih. Ada yang merasa teriris perih. Tetapi mereka semua berusaha diam, berusaha membungkam rasa, membungkus luka, menyeret damba, menggapai semesta. Dan semua menuju ke saya. Mereka menuju ke saya!

Saya terbeliak-beliak menyaksikan kerumunan orang yang begitu banyak. Besar-kecil, tua-muda, lelaki dan wanita berdesak-desak mengerumuni saya. Mereka semua menikam saya dengan pandangan matanya yang dingin, sinis dan mengerikan. Ribuan mulut dikancip-kancipkan. Ribuan tangan diancung-ancungkan. Ribuan kepala ditengadahkan. Ribuan dada ditepuk-tepuk. Ribuan kenangan dirobek-robek, diremas-remas kemudian dicampakkan ke muka saya. Mereka marah! Dan marahnya ditujukan kepada saya! Mengapa harus ke saya? Mengapa saya?

“Kau!” tuding seorang nenek dengan beringasnya.

“Kembalikan aku! Kembalikan kau!” jerit histeris seorang cukong bertubuh jangkung.

“Bantai saja kau! Sikat semua kau! Tunggu apa lagi kau!” terisak-isak seorang bocah bergumam.

Kemudian semua bergumam-gumam, semua berbisik-bisik, semua mengerang-ngerang dan semua mengerat-ngerat keberadaan saya. Saya terpelanting kesana-kemari dalam keterkejutan yang patah-patah. Saya gerah, kecut dan lunglai. Saya terabaikan. Saya merasa digorok-gorok, dicincang dan diiris tipis-tipis. Habis! Habislah saya! Tapi saya tidak tahu apakah saya yang kehabisan ataukah saya yang dihabiskan.
Yang jelas saya jadi sangat merana, menderita, terlunta-lunta akibat malapetaka Alina.

Alina? Mengapa saya terhina karena Alina? Begitu tegakah Alina? Mengapa saya ternoda karena Alina? Begitu berkuasakah Alina? Pasrahkah saya demi Alina? Oh, ini bencana apa? Ini bencana apa?

“Keterlaluan sekali! Saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Saya benci! Saya tak mau mati dalam sekarat seperti ini. Kasihan Alina bukan berarti kasihanilah saya. Alina tetap Alina! Saya bukan Alina! Biarkan saya tetap saya. Saya tak tahan lagi, saya tak rela jika diganyang seperti ini. Biarkan saya kembali kepada saya. Biarkan saya…,” ratap saya dengan terhiba-hiba.

Udara mendadak gemetar. Daun-daun, batu-batu, dinding-dinding, tiang-tiang listrik, jembatan-jembatan, perasaan-perasaan, kekecewaan-kekecewaan, kebohongan-kebohongan, nista-nista, ambisi-ambisi, persepsi-persepsi, kolusi-kolusi, imaji-imaji, bergetar-getar. Semua bergetar-getar. Begitu asingnya suasana ini tercipta. Saya sedang diperdaya! Saya sedang diperdaya!

Suatu ketika seraup hawa panas menyebar, menampar muka-muka penduduk kota saya yang tercengang-cengang; pilu dalam tanda tanyanya masing-masing. Namun mereka tetap saja menikam saya dengan ketercengangannya dan tanda tanya yang menggelegak di benaknya. Mereka jadi sangat buas dan beringas dalam katup gamangnya yang sukar diterjemahkan. Mereka sepertinya bukan lagi mereka!

“Oh, Alina…, mengapa mereka menghimpit-himpit saya dengan bala bencana seperti ini? Apa salah saya, Alina? Tolonglah saya, Alina! Ah, tetapi tidak! Tidak! Saya tak perlu dikasihani. Saya bukan jenis manusia banci. Lupakan saja saya. Biarkan saya tetap saya. Acuhkanlah saya supaya saya segera merdeka. Ya, merdeka!”

Tetapi semua jadi percuma. Saya merasa tersia-sia tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa apa-apa. Saya jadi ringan polos-telanjang, melayang-layang dan membentur ruang batas yang tak berbatas. Kemudian perlahan-lahan saya meluncur, meraup baying-bayang dan sisa angan-angan yang menyekat di ubun-ubun penduduk kota saya. Penduduk kota saya semakin terperangah dan terus saja marah-marah. Mereka blingsatan kesana-kemari, sibuk dalam mencari-cari.

Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya. Mereka semakin sibuk mencari-cari, menyusup ke riol-riol, mengais-ngais bak sampah, membongkar-bongkar arsip negara, mengaduk-aduk gudang beras, gudang tepung, gudang hati, gudang mimpi, gudang sepi, memilah-milah sejarah, mengobrak-abrik gairah, melesat ke semesta! Mereka terus mencari-cari. Mereka larut dalam pencariannya sendiri-sendiri.

Meresapi makna malapetaka ini saya jadi sakit sekali. Mengapa semua harus berakhir seperti ini? Adakah ini dendam Alina? Adakah ini kutuk Alina? Mengapa semua harus merasakan siksa? Siksa! Oh, terlalu purba makna yang tersirat dari siksa yang tersiksa dirimu Alina. Alina, adakah engkau rindu? Mungkin kami yang tertipu!

Sebuah kekuatan menyerap tubuh saya mendekati liang kubur Alina. Saya terkesiap dan segera bergerak-gerak, menghentak-hentak untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan laknat ini. Seluruh kekuatan saya kerahkan. Sebuah kehormatan saya pertaruhkan. Tetapi semua jadi sia-sia. Saya harus mengaku kalah. Tubuh saya semakin lemah. Saya merasakan lelah. Oh, mengapa harus ada kekalahan?

Udara semakin membara. Pagi kehilangan rupa. Angin merah menderu-deru menciptakan suasana neraka. Kata-kata mengalir begitu cepat dan tersaruk-saruk dalam perjalanannya yang mendidih, menggelegak, berbuncah-buncah, meleleh di dinding-dinding kusut kota saya. Jalan-jalan protokol dan lorong-lorong dingin terlipat-lipat. Pepohonan menguap. Taman kota membusuk. Wajah kota saya terkelupas dan bopeng-bopeng. Kota saya terluka! Kota saya terluka!

Sedikit demi sedikit tubuh saya digiring ke tepi liang kubur Alina untuk dibenam di sana . Saya mencoba untuk berbuat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena saya sudah dicekam untuk tidak berbuat apa-apa. Saya relakan saja jika ini memang akhir yang harus saya terima. Perlahan-lahan tubuh saya mulai dibenamkan ke liang kubur Alina. Saya juga tidak tahu harus bersedih atau bersuka ria. Saya diam saja, menerima apa adanya. Tubuh saya semakin terbenam, semakin tenggelam dalam liang merah membara milikmu Alina! Milikmu Alina!

Lambaian terakhir sempat saya ancungkan, sebagai ucapan selamat tinggal kepada seluruh penduduk kota saya yang semakin sibuk mencari-cari. Saya tidak tahu apa yang mereka cari. Adakah mereka mencarimu, Alina? Oh, Alina, terimalah saya seutuhnya. Seutuhnya di keabadianmu, Alina!

Sekali mata saya terbeliak. Kemudian perlahan menjadi sendu, sayu dan terasa begitu syahdu.
Udara kian membara.
Tapi, dimanakah Alina?! Dimana Alina?!
…………………………….
Saya dibohongi lagi!
Saya dibohongi lagi!

***

Banda Aceh, November 1994

Senin, Oktober 19, 2009

Juru Sanggah

Cermin : Saiful Bahri

Apa peliknya sanggah? Sekedar menyanggah untuk membaik-baikkan buruk, memburuk-burukkan baik, membalik-balikkan timpang, mentimpang-timpangkan niat, tangkal-menangkal segala ingkar, ingkar-melingkar segala tohok, tohok kapok segala cecar, lalu cecarlah cerca dan caci habis segala usik, segala usut. Itu dan begitu-begitu saja selamanya. Maka, apa peliknya? Itulah kerja yang kugandrungi sekarang ini, sebuah lapak kerja berjuluk Juru Sanggah!

Akulah Juru Sanggah, setelah berbagai juluk juru menjuru-juru di sekujur pelosok kampungku yang digirang gerayang banyak orang. Aku bersenang hati, sebab semenjak dahulu kala kampungku telah dikerubung banyak juru. Mulai dari juru bicara yang hanya bicara-bicara saja, lalu juru rawat, juru parkir, juru masak, juru kunci, juru pangkas, juru tipu, juru tembak, juru jagal, juru runding, hingga juru damai. Dan akhirnya berhingga pula kini pada julukku, si Juru Sanggah. Akulah Juru Sanggah!

Sebagai anak kampung, aku mengerti banyak seluk-beluk adat tabiat ulah bertingkah watak perangai orang-orang penghuni kampung. Mereka semua sangatlah cerewet. Di mata, di kepala dan di hati mereka semua tak baik, semua buruk dan salah. Tak ini, tak itu, semua jangan. Mereka selalu senang berburuk sangka dengan tuding-tuding yang berjangan-jangan. Jangan-jangan itu begini! Jangan-jangan ini begitu! Aku heran, bingung dan terkadang kecewa dengan ulah sebegitu itu yang terus mereka pelihara. Tidaklah sepatutnya mereka terus bergelimang persangkaan buruk dengan mengendus-ngendus dan mengungkit-ungkit prilaku orang, kejanggalan tak tersengaja, target kerja dan kinerja yang sedikit anjlok, dan sederet remeh-temeh lain yang selalu buruk dan tak pernah mereka beranggap benar.

Aku semakin heran, bingung dan kecewa ketika berhadapan dengan kenyataan yang menghadang masa depan kampungku. Sungguh sangat kacau kampungku jika terus berpusing-pusing dalam lingkar kalut warga yang picik. Tidak akan cita gapai cerlang gemilang wajah kampungku jika aku tetap bermuram durja, tidak berbuat apa-apa. Dan sungguh celaka jika aku bangga bermuram durja, acuh, malas tak tahu harus berbuat apa.

Maka, ketika ada tawaran kerja dari sebuah tempat hebat yang peduli hajat hidup orang banyak di kampungku, cepat-cepat peluang itu kusosor dengan suka cita. Ini dia yang kutunggu-tunggu, sebuah kerja yang sepele, tetapi asyik dan besar dampak manfaat. Sebuah kerja yang tidak sembarang orang bisa. Sebuah kerja yang tidak sebarangan orang bisa. Ya, inilah kerjaku : Juru Sanggah!

“Mengapa Saudara mau jadi Juru Sanggah”tanya Penguji fit and proper test pada suatu kesempatan testing fomalitas.
“Suka saja”jawabku singkat .
“Oh, tidak bisa begitu. Tidak sekedar suka. Saudara harus punya visi dan misi!”
“Lho, kok visi? Apanya misi?”
“Iya, dong! Biar tergetnya fokus!”
“Jadi? Oke. Oke, saya mengerti!”
“Nah!”
“Hehehe..”
“Tidak semata tergiur upah ’kan?”
“Hus! Saya tak peduli upah. Saya peduli kampung”
“Wah, mulia sekali kepedulian Saudara!”
“Jadi, bagaimana?”
“Selamat! Saudara lulus!”
“Lulus?”
“Ya!”

Sejak hari itu mulailah aku tekuni kerja itu dengan bersungguh hati. Di batas antara adaku dan tiadaku, sekejap melintas geriap bayang indah masa kecil di pelataran kampung, berseling cericit burung-burung di dahan randu, pantul bening pagi di telaga tua, sayup syahdu senja manis di tanggul pantai, dan lolong pilu anjing liar di bawah redup purnama akhir malam di kaki bukit tepi kampung. Begitu liar geriap bayang itu membanting-banting anganku. Hanya sekali aku meringis. Setelah itu kutebar beruntai-untai senyum sinis.

Dikesendirian diri aku bergumam, apa peliknya sanggah-menyanggah, sekedar membaik-baikkan buruk, memburuk-burukkan baik, membalik-balikkan timpang, mentimpang-timpangkan niat, tangkal-menangkal segala ingkar, ingkar-melingkar segala tohok, tohok kapok segala cecar, cecar, cerca, caci habis segala usik bongkar membongkar. Itu dan begitu-begitu saja selamanya. Aku terus bergumam-gumam, memahir-mahirkan diri untuk berlihai-lihai menyanggah segala sanggah.

Banda Aceh, 9 November 2007

Hujan Emas

Cermin : Saiful Bahri

Ahuuuiii….pada akhirnya hujan emas ketiban jua menyiram kampung kami, setelah lelah melapuk diganyang hujan badai, hujan pelor, hujan darah, hujan mayat, yang menderaikan linang pedih air mata bermasa-masa. Namun, pada ujung-ujungnya nikmat jua yang terdekap, hujan emas pula yang menyekap.

Kami masih ingat betul masa-masa itu, masa-masa sebelum bersiram hujan emas. Sungguh sempit, terhimpit-himpit dan sangat tidak nyaman hidup di kampung kami kala itu. Kami tidak boleh berkehendak sesuka kami di kampung kami sendiri, jika tidak mau digulung hujan badai, atau ditembus hujan pelor, atau kuyup bersimbah hujan darah. Hingga berhingga pada suatu pagi datanglah hujan aneh. Berbuncah-buncah air hitam dimuntahkan laut tepi kampung yang seketika mengamuk hujankan mayat-mayat. Ya, hujan mayat! Mayat-mayat penghuni kampung kami sendiri. Tapi, hanya sekali hujan mayat itu, sehingga pedihnya juga sesaat, karena sehabis itu segera hujan emas tak henti-henti menerpa kampung kami.

Sejak hari itu kami bersuka cita menyambut hujan emas, yang dipersembahkan oleh gelimang mayat beratus-ratus ribu penghuni kampung kami hanya dalam rentang waktu sekedip mata. Berpagi-pagi kami syukuri nikmat mie instant, biskuit dan baju-baju bekas. Bermalam-malam kami ulang-ulang cerita duka di tenda-tenda penampungan dan barak-barak pengungsian. Ketika itu sungguh kami akui kalau ujung-ujung kampung kami itu sempurna berantakan.

Tak henti-henti hujan emas itu menerpa kampung kami. Tak henti-henti. Berbulan-bulan, bahkan sudah bertahun hujan itu tak henti-henti. Berebut kami menampung setiap tetes hujan itu. Tak lelah-lelah, tak peduli siang, tak peduli malam, kami sibuk berhiruk-pikuk menampungnya dengan apa saja yang kami punya. Hasil tampungan itu kami masukkan ke pundi-pundi kecil, lalu pada sore harinya pundi-pundi itu kami usung ke penampungan yang sangat besar untuk dipendam di sana sementara waktu, untuk kemudian dipilah-pilah, lalu dibagi-bagikan kembali kepada kami secara lebih adil dan merata. Sebagai orang kampung kami percaya-percaya saja pada janji-janji sedemikian itu.

Selama turun hujan emas, berduyun-duyunlah orang-orang dari berbagai penjuru negeri menyambangi kampung kami. Bermacam-macamlah niat dan itikad orang-orang itu. Niat baik dan itikad buruk campur aduk. Kami tak peduli. Malah kami bersenang hati karena merasa ada yang mau berbagi dan peduli dengan nasib kami. Sebagai penghuni kampung yang sudah diguyur berbagai hujan, kami jadi kebal dan bebal terhadap aneka sangka-sangka. Hanya satu sangka yang tetap kami pelihara bahwa di segala duka derita, manusia satu tetap merasa kalau manusia lain itu juga manusia. Itu saja. Kami orang kampung, cara cakap dan pikirnya seadanya saja.

Agak-agaknya ada yang aneh. Pundi besar penampung emas yang kami percayakan dikelola bersama orang kampung kami dan orang kampung sebelah tak penuh-penuh juga. Entahlah, mungkin sudah ada yang dibagi-bagikan, atau ada yang susut dan tercecer barang sedikit. Usahlah terlalu dicurigakan. Kami masih juga bermasa bodoh ketika upah-upah pengelola pundi sungguh berlimpah. Ah, mungkin itu sudah rezekinya mereka. Tapi, dimana rezeki kami? Dimana hak-hak kami?

Pada suatu hari seorang pengembara dari kampung yang jauh kesasar di barak kumuh tempat kami ditampung-tampung. Ia sepertinya penat dan lusuh sekali. Kami ajak ia singgah sejenak di bilik sempit serba guna tempat kami bersegalanya. Kami muliakan ia dengan semangkuk mie instant dan segelas air putih.

“Tersiar kabar kampung ini berhujan emas. Apa betul?”tanya pengembara itu sambil mengepulkan asap rokok dan menyapu mulutnya yang berselemak minyak kuah mie tadi.
“Betul!”jawab kami serentak.
“Jauh-jauh saya kemari bermaksud menampung emas juga di sini. Apa boleh?”
“Boleh!”
“Tapi, kok aneh? Di tengah berlimpah emas, kok masih berbetah-betah di barak kumuh ini?”
“Santai!”
“Kok, santai?”
“Biasa!”

Tak seharusnya kutelanjangi perangai selingkup kampungku kepada orang baru. Biarlah orang baru itu belajar tahu sendiri. Sementara diluar barak langit-langit kampung kembali mendung. Hujan emas akan kembali mengguyur. Bermalas-malas kami baringkan tubuh-tubuh lelah, sabar menanti janji-janji, sabar menanti hak-hak kami.

Banda Aceh, 25 Oktober 2007

Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Cermin : Saiful Bahri

Merah malu mukaku ketika kukisahkan lagi dongeng tentang beduk yang dulu ditabuh bertalu-talu disini, di kampung-kampung tua yang kini sudah bersalin rupa. Kuracuni imaji cucu-cucuku menjelang terkatupnya mata-mata polos yang tubuh-tubuh mungil itu berdesakan meringkuk dipangkuanku. Sungguh-sungguh mereka menatapku dan merekam kata-kata yang kucapkan, sambil berkedip-kedip mata membayang-bayangkan bagaimana indah merdunya suara beduk yang ditabuh bertalu-talu pada masa dongeng ini belum menjadi dongeng.

“Pada suatu masa di suatu sore pergilah kakek dan kawan-kawan kakek ke meunasah. Kakek kala itu masih kecil-kecil seperti kalian ini. Jalan menuju ke meunasah masih berbatu-batu. Jika musim hujan jalan itu sangatlah becek. Di kiri kanan jalan rimbun dengan pepohonan. Kami berlari-lari kecil sambil tertawa bercanda ria,”kenangku sambil mengusap lembut kepala-kepala cucuku.

“Abis itu…” seru cucuku yang perempuan sepertinya tak sabaran.

“Ya, akhirnya sampailah kami di meunasah. Meunasah saat itu masih seperti rumah panggung, seperti Rumah Aceh yang ada di kompleks museum di sana itu. Di samping kiri meunasah ada sebuah bak penampung air yang besar seperti kolam. Airnya selalu penuh melimpah. Sejuk sekali air itu. Kami berebutan mencuci muka dengan menyelam membenamkan muka langsung ke permukaan air di bak itu. Segar sekali rasanya.”Aku terkekeh membayangkannya. Seolah-olah masa itu baru memarin kulalui. Ah, begitu cepatnya waktu berputar menggerus-gerus batang usiaku.

“Abis itu… Abis itu…” desak cucuku yang lain, yang laki-laki, yang paling lasak.

“Abis itu,kan, kakek dan kawan-kawan pergi ke balai-balai di samping meunasah. Balai itu adalah tempat kakek belajar ngaji setiap malam seusai sembahyang Magrib. Atap balai itu terbuat dari sirap daun rumbia. Di bagian pelataran depan balai, di langit-langit balok loteng itu tergantung sebuah beduk yang sangat besar....”

“Apaan itu beduk, Kek?”tanya cucuku yang ke lima, yang tiba-tiba terjaga dari hampir lelapnya.

“Beduk ya beduk. Ia semacam gendang besar yang dapat mengeluarkan suara yang sangat besar.”

“Seperti drumband di pawai-pawai 17 Agustus, ya Kek?”tanya cucuku yang lain.

“Bukan! Bukan seperti itu….”

“Untuk apa beduk itu, Kek?” tanya cucuku yang lainnya lagi.

“Untuk penanda waktu. Misalnya ketika azan mau dikumandangkan dan saat-saat menjelang berbuka puasa, beduk itu segera ditabuh-tabuh. Lalu saat membangunkan warga kampung ketika sahur. Kemudian ketika ada orang kampung yang meninggal dunia beduk juga ditabuh. Dan yang paling asyik ketika sehari menjelang hari raya dan selama berhari raya anak-anak berebutan menabuh beduk. Tak henti-henti terdengar suara beduk dari kampung kakek dan kampung-kampung sebelah. Irama suara beduk yang semarak sahut-menyahut membuat hari raya ketika itu terasa begitu syahdu dan sendu. Getar suara beduk mengguncang gelora sukma akan rasa bahagia yang sakral, merindingkan bulu roma, menerbangkan angan ke padang-padang tandus, ke jurang-jurang berbatu cadas, ke langit-langit jauh tinggi, ke semesta raya tak bertepi. Gema suara beduk menyusup ke dasar samudra, melesat ke bintang-bintang. Bunyi beduk bertalu-talu, mendayu-dayu, menghamburkan percik-percik renik diri insan yang kerdil. Bunyi beduk jadi sangat luhur dan akrab, hingga mempelantingkan diri ke permenungan-permenungan masyuk, lalu mengembalikan hakikat kembali ke hakikat. Bunyi beduk itu menggedor-gedor pintu waktu demi waktu yang merobek-robek segala kenangan demi kenangan Kakek. Bunyi beduk…ah!”

Aku terperangah, karena ternyata semua cucuku sudah terlelap pulas. Di bibir mereka terulas sebuah senyum. Begitu polos, sepolos jiwa mereka yang putih. Kutatap satu per satu cucu-cucuku. Aku terharu. Aku Cengeng. Berlinang air itu menggulir satu-satu dipipiku yang keriput. Beberapa butir air itu menetes ke muka cucuku yang lasak. Ia mengusap mukanya. Perlahan membuka matanya.

“Adakah kakek mendengar suara beduk?”tanyanya lirih.

Aku menggeleng lemah. Kuusap lagi kepalanya. Tidak berapa lama ia kembali terlelap.

Banda Aceh, 25 September 2007

** Meunasah (Bahasa Aceh) berarti Surau

Taman Rindu Tak Sampai

Cermin : Saiful Bahri

Dalam rintik hujan berangin pagi itu, Said yang lelah, lusuh dan tua terperangah di sudut utara taman itu. Jengah, pangling, miris, haru, pilu, ngilu, kecewa, rasa-rasa tak mungkin, rasa-rasa tak percaya bergolak-golak dalam dada, lalu melesat dan mendesing-desing di batok kepala Said. Taman itu, taman segala rindu, taman pelipur lara, taman sejarah dengan sejumlah situs kenangan Said muda belia, kini tak dijumpainya lagi. 15 menit Said tegak terpaku. 1 menit kemudian tubuh renta Said terguncang. Said menangis. Said terjerembab layu di bawah guyur hujan pagi itu yang perlahan-lahan melebat. Remuklah segala rindu Said akan tamannya.

Padahal, panggilan kerinduan itu selalu mengusik Said berpuluh-puluh tahun kala ia tersekap permainan hidup di negeri-negeri perantauan yang jauh. Sungguh kerinduan itu sengaja Said ulur-ulur, buai-buai, dan sesekali digerusnya halus-halus, lalu dicubitnya gemas-gemas, agar rindu itu tetap berjaya dan terjaga utuh adanya dalam urat-urat darah di sekujur tubuhnya. Berpuluh-puluh tahun Said tertidur dan terjaga dengan membawa satu rindu taman, yang tak cukup kata-kata pengungkap, tak cukup rasa-rasa merasa, akan sendu dan syahdu satu segala rindu pada taman masa lalunya.

Maka, pulang adalah panggilan pemupus rindu. Pulang, pulanglah Said. Disusur kembali jalan-jalan pulang, menguak sekat-sekat pelosok kampung-kampung orang, menapaki batas-batas kota, batas gurun, batas gunung, batas segala batas negeri-negeri seberang, melintasi laut-laut dan samudera raya, menelisik kembali lorong-lorong tua yang lampau, hingga akhirnya, pagi ini, dalam rintik hujan melebat ini, Said yang lelah, lusuh dan tua, tersungkur pilu di atas remuk puing kerinduannya.

Setengah melata Said merangkak menghampiri pohon asam jawa di samping kiri bekas pintu masuk utama taman itu. Pohon itu masih menyimpan secuil kenangannya. Duduk bersandarlah Said di kaki pohon tua itu. Matanya nanar-liar menggerayangi sekujur taman dari ujung ke ujung. Rasa miris itu mengiris Said tipis-tipis. Pedih! Perih sekali!

Tak ada lagi! Pupus segalanya! Tak dijumpainya lagi papan melintang enjot-enjotan yang merekam pekik riang takut senangnya kala itu. Punah juga plosot-plosotan semen yang licin menyejuk rasa di serat-serat hati ketika tubuh kecilnya meluncur di situ kala itu. Sepi sunyi sudah gerinyit bunyi beradu rantai-rantai besi yang dingin, ketika ayun-ayunan bergerak-gerak mengiringi nyanyian nyaring mulut mungil Said yang melagukan ceria masa kecil. Tak ada lagi rimbun pohon-pohon tua peramu rasa sendu dan syahdu alam taman. Tak ada lagi jalan setapak yang melingkar-lingkar memaniskan riak hidup Said kala berlari-lari kecil wujudkan merdekanya dunia kanak-kanak. Tak ada! Tak ada lagi bukti kenang-kenangan itu. Sepi segala kenangan! Remuklah rindu Said.

Gelegak rindu Said kini perlahan mendingin sudah. Taman itu, Taman Sari yang berpuluh tahun dielu-elunkanya itu, kini pongah mencibir-cibir kekecewaannya. Said merasa diledek-ledekan oleh sebuah bangunan megah setengah lingkaran yang berdiri di atas bekas situs-situs kenangannya. Gagah dan indah bangunan itu, tapi kering, sekering kenangan Said yang kini tak mengharap kenangan apa-apa lagi pada taman itu. Kering, sekering padatnya lalu lintas kenderaan di simpang sudut taman itu yang hilir mudik tak putus-putusnya, mencabik-cabik kesenduan pagi di bawah siraman rintik hujan yang semakin melebat.

Di bawah pohon asam jawa di samping kiri bekas pintu masuk utama taman itu Said perlahan-lahan terlelap. Dalam lelapnya Said kembali ke masanya dulu. Saat itu, di suatu malam usai Isya, Said dan Abinya tiba di taman itu. Sekeliling bangunan bulat kecil di bawah pohon tua yang rindang itu mulai dipenuhi orang-orang. Sebentar lagi pertunjukan musik klasik oleh perwira-perwira muda tentara Belanda akan dimulai.

Alunan musik klasik yang sendu mendayu-dayu hingga tengah malam telah melelapkan Said kecil dalam gendongan Abinya. Dalam nyenyaknya Said tersenyum damai. Damai sekali, sedamai Taman Sari malam itu yang semarak cahaya lampu di bawah rimbun-rimbunan pepohonan. Hanya sekali Said merengek. Setelah itu Said kembali pulas. Said semakin larut tersuruk dalam mimpi-mimpinya.

Banda Aceh, 11 Agustus 2007

*** Taman Rindu dalam cerpen ini adalah kenangan pada Taman Sari yang ada di tengah Kota Banda Aceh.

Minggu, Oktober 18, 2009

Minggu Terakhir

Cermin : Saiful Bahri

Pada sangkaku, Minggu akhir Desember hampir tiga tahun yang lalu itu adalah Minggu Terakhir bagiku. Aku yang rebah, lalu terguling-guling di bumi berguncang-berguncang, lalu pitam, takut, kecut dan gemetar, hingga dalam sempurna gamang tiada daya, semestaku tergulung-gulung, tersaruk-saruk, terseret-seret, terhimpit-himpit, luluh-lantak dalam gelora membara air hitam kental hangat yang datang dari laut belakang kampungku, hingga seketika aku bersangka-sangka : ini dia Minggu Terakhir!

Ternyata itu belum berakhir. Itu bukan Minggu Terakhir. Masih ada dan kulalui lagi minggu-minggu yang lain, yang belum juga berakhir-akhir. Juga hari ini, di saat orang-orang hiruk-pikuk berbenah menyambut Minggu Terakhir, aku kembali terkesiap, tergagap dan tergugup dalam lingkar trauma yang belum pupus. Dingin sekujur tubuhku ketika seorang bocah, kawan kecilku sesama pengemis membisikkan dengan suara yang sangat lirih, “Hari inilah Minggu terakhir!”.

Bagai gila, aku berteriak keras sekali. Tetapi sepertinya teriakanku tak bersuara lagi. Yang terdengar hanya desis-desis tak berarti. Teriakanku menghambur percuma. Agaknya desis-desis itu hanya meruak jadi desas-desus pembenaran bahwa benar ini hari Minggu Terakhir.

***

Siang sungguh terik membakar persimpangan segala simpang, ketika aku, seorang kakek pengemis tua, menebar senyum renyah pada semua manusia. Tak lagi terucap kata menghiba dan punah pula uluran tangan meminta-minta pada diriku. Kutegur dan kusapa orang-orang dengan bahasa-bahasa yang sangat manusia. Kuberi segala senyum yang kupunya, agar semua orang ikut berbahagia, sebagaimana bahagianya diriku pada siang terik ini. Aku mau membagi kembali semua belas kasih -- baik yang tulus atau yang terpaksa -- yang telah pernah kuterima dari semua manusia, dengan suatu akhir yang indah.

Ya, akhir yang indah. Seindah makan enak dan tidur nyenyak. Seindah janji-janji kala bersemi cinta pada pandangan pertama, yang terbuai-buai, teralun-alun, hingga hinggap di mimpi-mimpi di malam-malam sunyi. Akhir yang indah, seperti akhir kisah-kisah Abu Nawas dan cerita 1001 malam. Sungguh, aku, pengemis tua, kali ini ingin sesuatu yang unik, yang terbalik. Maka, semakin manusialah senyum-senyuman yang kuterbarkan.

Tetapi sepertinya alam tak sepaham lagi denganku. Cuaca terik mendadak mendung. Dari segala ufuk awan hitam bergulung-gulung mengepung dan menggelantung rendah-rendah di langit-langit kampung, langit-langit kota, langit-langit persimpangan segala simpangku. Hembusan angin panas menderu-deru dan berpusing-pusing cepat sekali, menyeruak jalan-jalan protokol, menyisir lorong-lorong sempit, menerbangkan debu-debu dan bau-bau. Hidup jadi begitu sesak. Amarah-amarah memuncak. Gairah-gairah memuak. Tipu-tipu merebak-rebak. Melesat dan bergulir-gulir begitu cepatnya segala wacana, rencana, format, tata laksana tentang kebenaran, kesucian, kesejahteraan, kemakmuran, gratis biaya pendidikan, gratis biaya kesehatan, puja-puji segala sakral, caci-maki segala sakral! Semua bergolak, semua mencoba mencuat-cuat.

Aku hanya termangu-mangu. Pilu. Kesal, terlalu sering kena tipu.

***

“Apa benar ini Minggu Terakhir?” tanyaku pada Kapitan Pattimura, yang gambarnya tertera pada lembaran uang seribuan yang dilempar kemukaku oleh seorang cukong di simpang itu. Lusuh sekali uang itu, selusuh wajah kotaku yang tak pernah lagi cantik. Kotaku berwajah tua, berselaputkan debu dan jelaga asap kenderaan. Kotaku lelah, selelah diriku meyakini konon katanya ini hari Minggu Terakhir.

Kulelapkan lagi diriku untuk kesekian kalinya dalam alunan debu, nyanyian usang deru kenderaan, kelap-kelip lampu merah-kuning-hijau pacak-pacak persimpangan, sambil kutebarkan kembali berlaksa-laksa senyum pada semesta. Lalu, malu-malu kumaknai diri bahwa aku, pengemis tua, juga punya pusaka trauma yang hingga minggu ini masih melilit dan mencucuk-cucuk benakku tentang tragis Minggu kemarin, hampir tiga tahun yang lalu.

Begitu sempurnanya Minggu hampir tiga tahun yang lalu itu, sesempurna kepergian anak-anak dan istriku, sesempurna jerit terakhir cucu-cucu manisku…

Banda Aceh, 7 September 2007